Jarang
banget saya terima telfon subuh-subuh dari nury’ nggak kepikiran apapun’
kemudian “kenapa Nuur?” hening “Wat,, Rian meninggal” saya terduduk dari posisi
sebelumnya yang masih tiduran, mencoba mencerna apa yang tadi saya dengar “Apa
ai kamu? Yang bener?” kemudian Nury menjelaskan kalau tadi dia ditelfon A Andri
(suaminya Rian) kalau tadi malem Rian meninggal,, saya sudah mulai mencerna apa
yang dia certain’ otak saya mulai bekerja, tapi hati saya nolak untuk percaya
kalau temen saya yang cantik itu meninggal, agak lama saya diem,,, “ya udah’ aq
kabarin yang lain dulu yah” dia Nampak tegar, padahal saya tahu perasaan dia
juga sama campur aduknya kaya saya. Nerima berita duka itu berat, tahu bagian
yang lebih berat? Nyampein itu ke yang lain, itu lebih sakit. Nggak lama saya
nelfon Icha, terbata-bata dan nggak jelas, panas mata saya dan mulai rembes
saat bilang kalau Rian meninggal’ icha
juga kayanya gitu, dia nyaris teriak waktu saya sampein berita itu “Yang bener
Mey?”
Secepat
ini Allah manggil anak tunggal itu, sahabat kami tercinta, anak perempuan-nya
masih 8 bulan dan dia tengah hamil muda, sedih? Semua sedih apalagi keluarga
terdekatnya, suami dan ibunya. Saya yang berdiri di shaft perempuan yang ikut
menyolatinya hampir nggak sanggup saat Imam masjid bertanya “Iyeu nu bade d
sholatan muslim? Maotna sae?” diikuti jawaban membenarkan dari semua jamaah,,
saya merinding, mata kembali panas saat Imam berkata “Urang jadi saksi lamun
neng Rian teh Muslimah anu sae” buru-buru saya usap rembesan air itu.
Nggak
pernah ada dalam pikiran saya kalau saat ini tiba, menyolati jenazah sahabat
saya, sahabat sejak awal kuliah, kami
teman akrab, teman sekelompok saat ospek, teman satu jurusan, teman main di
Kostan, makan baso dan bolos kuliah bareng-bareng, ternyata dia pulang duluan,
mungkin saya berikutnya, bisa cepat atau agak lama, yang pasti saya bakal
menyusul. Selamat jalan yan
No comments:
Post a Comment